🧭 Pengantar
Dalam praktik ibadah salat berjamaah, posisi seorang imam sangatlah sentral. Ia bukan hanya pemimpin shalat, tetapi juga representasi tatanan kolektif umat dalam beribadah. Hadits yang sangat masyhur—“Innamā juʿilal imāmu li yu’tamma bih”—sering dijadikan landasan untuk mewajibkan seluruh makmum mengikuti semua tindakan imam. Namun, seiring dengan berkembangnya wacana fiqih, muncul pertanyaan penting: Apakah semua perbuatan imam dalam salat wajib diikuti secara mutlak?
Tadzkirah ini mengajak kita untuk menyelami makna hadits tersebut secara kontekstual dan ilmiah. Terdapat nuansa penting yang harus dibedakan: antara perbuatan imam yang merupakan bagian dari rukun salat, dengan perbuatan yang hanya mustahab, atau bahkan perbuatan yang keliru. Apakah makmum tetap wajib mengikuti? Atau justru harus mengoreksi?
Lebih dari itu, dibahas pula adab dalam menyikapi perbedaan ulama, bagaimana menghormati ijtihad meskipun kita tidak sepakat, serta pentingnya terbiya (pembinaan ruhani dan ilmiah) dalam proses belajar. Karena mengikuti imam bukan hanya persoalan teknis gerakan, melainkan bagian dari kedisiplinan syar’i yang berpijak pada dalil, adab, dan pemahaman ushul.
📚 Rangkuman Faedah Ilmiah
🔹 1. Makna Hadits “Innamā Juʿilal Imām Li Yu’tamma Bih”
-
Hadits ini menjadi dasar bahwa imam dijadikan untuk diikuti dalam salat. Namun, pengamalannya tidak mutlak pada semua aspek.
-
Rasulullah ﷺ mengkhususkan konteks hadits ini pada rukun-rukun yang tampak (arkān ẓāhirah), seperti takbir, rukuk, sujud, dan salam.
🔹 2. Apa yang Wajib Diikuti dari Imam?
✅ Wajib diikuti:
-
Rukun salat yang mampu dilakukan (takbir, rukuk, sujud, dsb).
❌ Tidak wajib diikuti:
-
Kesalahan imam (misalnya berdiri untuk rakaat ke-5 dalam salat 4 rakaat).
-
Perbuatan mustahab (seperti jalsah istirahah) yang tidak diketahui makmum karena posisi jauh.
-
Sunnah atau kebiasaan imam yang bukan bagian dari syarat sah salat (seperti memakai imamah/turban).