} h3.post-title{ text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

MEMBEDAKAN ANTARA KEKELIRUAN DAN PENYIMPANGAN: STUDI ATAS KAIDAH AL-‘UDZRU BIT-TA’WĪL

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Arsip Masjid Darul Ilmi, Surabaya (C) 2020 - Note: Konteks tadzkirah ini untuk internal Ahlus Sunnah, bukan di luarnya.

✍️ Dalam sejarah keilmuan Islam, kesalahan yang lahir dari ta’wil sering kali dimaafkan, selama ia tidak muncul dari sikap menentang kebenaran secara sengaja. Tadzkirah ini mengajak kita menyelami lebih dalam sebuah kaidah besar dalam tradisi Ahlus Sunnah: al-‘udzru bit-ta’wīl, yaitu memberi uzur terhadap kesalahan yang berlandaskan ijtihad atau pemahaman dalil yang salah tapi masih bisa ditoleransi. Karena tidak semua yang berbeda berarti sesat, dan tidak semua yang salah pantas disesatkan. Keadilan dalam menilai, serta kehati-hatian dalam menghukum, adalah bagian dari amanah keilmuan.


📘 Pengantar

Di tengah semangat membela kebenaran, banyak dari kita lupa satu hal mendasar: kebenaran tidak pernah berdiri sendiri tanpa keadilan. Islam adalah agama yang memuliakan ilmu dan menjunjung tinggi etika dalam menyikapi perbedaan. Namun dalam kenyataan, sering kali perbedaan pendapat dianggap penyimpangan, dan kesalahan ijtihad langsung divonis sebagai kesesatan. Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah semua yang keliru layak dicap menyimpang?

Dalam dunia ilmu, perbedaan adalah keniscayaan. Para imam besar pun berselisih dalam banyak perkara. Lantas, apakah mereka saling membatalkan dan mencap satu sama lain sebagai ahli bid’ah? Tentu tidak. Sebab para ulama salaf memahami satu prinsip besar yang menjaga umat dari kehancuran akibat takfīr, tabdī‘, dan tadlīl yang serampangan: kaidah al-‘udzru bit-ta’wīl.

Kaidah ini mengajarkan bahwa tidak semua kesalahan pantas dihukum, selama kesalahan itu lahir dari ta’wil yang bisa dimaklumi secara ilmiah—yakni kesalahan dalam memahami teks syar’i, yang bukan karena niat membangkang atau mempermainkan agama, melainkan karena keterbatasan manusiawi dalam menafsirkan wahyu. Di sinilah letak kemuliaan ilmu: ia bukan hanya alat untuk menegakkan hujjah, tapi juga tameng dari kezhaliman dalam menghukumi sesama muslim.

Melalui tadzkirah ini, kita diajak melihat bagaimana para ulama salaf menyikapi perbedaan dengan penuh kedewasaan dan ketelitian. Kita diperlihatkan contoh-contoh riil—seperti pendapat Ibn Abbas tentang riba, atau kekeliruan para mujtahid dalam masalah-masalah ijtihadiyah—yang semuanya tidak otomatis diganjar dengan vonis keagamaan, melainkan didekati dengan ilmu, adab, dan kelapangan dada.

Dalam era media sosial dan polarisasi pandangan yang tajam, kaidah ini semakin mendesak untuk dipahami dan diamalkan. Sebab tanpa prinsip ini, umat akan terjerumus pada kebiasaan membatalkan orang lain hanya karena berbeda, dan yang lebih parah: menjadikan perbedaan sebagai dalih untuk menebar kebencian atas nama agama.

🎧 Tadzkirah ini bukan sekadar pembelajaran kaidah, tapi pelajaran hidup dalam beragama: bagaimana bersikap adil, tenang, dan ilmiah di tengah badai perbedaan. Mungkin inilah pintu awal menuju keluasan berpikir dan kelapangan hati yang telah lama hilang dalam dakwah dan interaksi sosial kita hari ini.


📚 Ringkasan Faedah Tadzkirah


1️⃣ Definisi Kaidah: Apa Itu al-‘Udzru bit-Ta’wīl?

Kaidah ini berarti memberikan maaf atau uzur terhadap orang yang terjatuh dalam kesalahan, apabila kesalahannya terjadi karena ta’wil yang dapat dimaklumi secara ilmiah—bukan karena niat membangkang atau meremehkan dalil.

📌 “Kita tidak menghukum niat, kita menilai berdasarkan ilmu dan kelayakan alasan.”


2️⃣ Contoh Sahabat: Ibn Abbas dalam Masalah Riba

Ibn Abbas radhiyallāhu ‘anhuma memahami hadits-hadits riba dengan pendekatan yang tidak sesuai dengan mayoritas ulama. Namun, para ulama salaf tidak menghukumi beliau sebagai pelaku dosa, karena ta’wil beliau berbasis dalil dan kapasitas ilmiah.

🔍 “Perbedaan dalam memahami dalil tidak otomatis menjadi penyimpangan.”


3️⃣ Syarat Diberikannya Udzur bit-Ta’wil

Ada dua syarat utama:

  1. Syurūṭ (Syarat) – Adanya bukti bahwa orang tersebut memiliki dasar ilmiah atau pemahaman yang bisa dimaklumi.

  2. Mawāniʿ (Penghalang) – Tidak terdapat indikasi niat buruk, penolakan kebenaran dengan sengaja, atau permusuhan terhadap dalil yang jelas.

🧠 “Selama syarat dan penghalang ini terpenuhi, kita wajib menahan lidah dari menghukumi.”


4️⃣ Kaidah Ini Tidak Menghapus Kebenaran, Tapi Menunda Penghukuman

Banyak orang salah paham, seolah kaidah ini membolehkan semua kesalahan. Padahal, kaidah ini tidak mengubah yang salah menjadi benar, hanya saja ia menunda penghukuman selama belum tegak hujjah yang jelas.

⚖️ “Tidak semua kesalahan berujung pada vonis. Kadang, ia butuh klarifikasi.”


5️⃣ Ta’wil Tidak Selalu Benar, Tapi Bisa Dimaafkan

Ta’wil tetaplah kesalahan dalam banyak kasus, tetapi selama tidak menyentuh pokok aqidah dan tidak merusak prinsip syariat, maka ia tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.

🌱 “Kesalahan dalam ijtihad bisa dimaafkan, selama lahir dari niat baik dan usaha ilmiah.”


6️⃣ Tanggapan Ulama Salaf: Tidak Mudah Menghukum

Para imam seperti Ibn Taimiyah, Al-Saʿdi, dan lainnya menjelaskan bahwa orang yang jatuh dalam kesalahan karena ijtihad atau ta’wil, tidak serta-merta dihukumi sebagai kafir, sesat, atau ahli bid’ah. Bahkan dalam kesalahan akidah, jika lahir dari ta’wil yang kuat, bisa dimaafkan.

🌟 “Jika para salaf bijak menyikapi kekeliruan, mengapa kita begitu tergesa menghukum?”


7️⃣ Perlu Keilmuan dan Keadilan, Bukan Emosi dan Sangkaan

Membantah kesalahan (rudūd) adalah bagian dari amar ma’ruf, namun harus dilakukan dengan adab, dalil, dan objektivitas. Tidak semua bantahan lahir dari ilmu; sebagian lahir dari emosi, loyalitas kelompok, atau dendam pribadi.

🚫 “Kebenaran bukan tentang siapa yang lantang, tapi siapa yang adil dan berilmu.”


8️⃣ Kaidah Ini Menjaga Ukhuwah dan Stabilitas Umat

Dengan memahami kaidah ini, kita akan lebih berhati-hati dalam menuduh, lebih sabar dalam menyikapi perbedaan, dan lebih rendah hati dalam berdakwah. Ia bukan hanya menjaga orang dari kesalahan hukum, tapi menjaga umat dari perpecahan.

🤝 “Satu kaidah ini bisa menyelamatkan kita dari ribuan perselisihan.”


🏁 Penutup: Jangan Mudah Menghukum, Pahami Sebelum Menghakimi

Kaidah al-‘udzru bit-ta’wīl adalah tonggak keseimbangan antara prinsip dan rahmat dalam dakwah. Ia mengajarkan kita untuk bersikap adil, tenang, dan ilmiah dalam menyikapi perbedaan, serta menghindarkan kita dari bahaya penghukuman sembarangan yang bisa memecah umat.

🎧 Dengarkan tadzkirah ini hingga akhir. Bisa jadi, inilah pintu bagi kita untuk meninggalkan fanatisme dan kembali pada kematangan ilmu serta kelapangan hati.  Islam dibangun di atas ilmu dan adab, bukan amarah dan sangkaan.




TRENDING