} h3.post-title{ text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

LELAH DALAM FITNAH, LUPA DALAM ILMU

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Audio tadzkirah berbahasa Inggris

Tak semua yang terlihat seperti kesungguhan itu benar-benar ilmu. Dalam era banjir informasi dan konten saling membantah, banyak pencari kebenaran justru tersesat dalam pusaran debat, komentar, dan fatwa yang belum waktunya mereka sentuh. 

Tadzkirah ini menyadarkan kita bahwa memulai belajar dari tempat yang salah bisa menghancurkan semangat, merusak akidah, dan menghilangkan barakah ilmu. Jangan biarkan semangatmu terseret pada jalan yang bukan jalurmu. Pahami dulu tingkatan ilmu, lalu melangkahlah dengan bimbingan yang tepat—sebelum waktumu habis untuk sesuatu yang tak seharusnya kau baca.



🧭 Pengantar

Dalam tradisi keilmuan Islam, metode pencarian ilmu (ṭalab al-ʿilm) bukanlah proses yang sembarangan. Ia memiliki hirarki, aturan, dan adab yang diakui para ulama sejak masa Salaf hingga hari ini. Namun pada zaman ini, tidak sedikit orang yang baru memulai perjalanan ilmiah justru terjebak dalam lingkaran debat, kecaman, dan fitnah yang tersebar luas melalui media sosial, forum dakwah, dan platform daring lainnya.

Banyak di antara mereka, dengan semangat tinggi namun tanpa dasar ilmu yang matang, langsung menyelami buku-buku bantahan (rudūd), pembahasan tajam tentang jarḥ wa taʿdīl, bahkan ikut dalam polemik internal para da‘i dan asatidz. Akibatnya, waktu habis untuk membaca konflik, bukan membangun pondasi iman. Hati menjadi keras, dada sesak oleh syubhat, dan lisan terbiasa mencela sebelum paham.

Tadzkirah ini menjadi peringatan penting bagi siapa pun yang mengaku pencari kebenaran: ilmu itu dimulai dari dasar, bukan dari fitnah. Metode Salaf yang benar bukan menanamkan syak wasangka, tapi membina iman, adab, dan manhaj secara bertahap. Jangan terjebak dalam ‘semangat yang salah kamar’. Mulailah dari ilmu yang membenahi shalatmu, memperbaiki tauhidmu, dan menumbuhkan akhlakmu—itulah ilmu yang akan menyelamatkanmu, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.


📚 Rangkuman Faedah Lengkap


1️⃣ Bahaya Membaca Fitnah dan Debat Sejak Awal Belajar

Banyak penuntut ilmu tergelincir karena lebih dahulu tenggelam dalam konten-konten bantahan (rudūd), polemik hizbi, dan isu-isu jarḥ wa taʿdīl, sebelum memiliki fondasi dasar dalam ilmu agama. Hal ini membuat mereka menghabiskan waktu dengan membaca konflik, bukan membangun pondasi ilmu dan iman. Akibatnya, hati menjadi keras, pemahaman sempit, dan semangat belajar pun menyimpang dari tujuan awal.

🔍 Ilmu tidak dimulai dari mencela, tetapi dari memahami.


2️⃣ Kewajiban Memulai Ilmu dari Dasar dan Bertahap

Tradisi Salaf menekankan pentingnya memulai ilmu dari yang paling dasar: seperti tauhid, fikih ibadah, tajwid, dan akhlak. Pembelajaran harus sesuai tingkat kemampuan, bukan langsung masuk ke ranah perbandingan kelompok, pembahasan bid’ah, atau perdebatan akidah mendalam yang belum layak ditangani oleh penuntut ilmu pemula.

📌 “Barang siapa yang ingin membangun rumah, jangan mulai dari atap.”


3️⃣ Definisi Rabbānī: Mengajarkan Ilmu Secara Bertahap

Dalam tafsir Ibn ʿAbbās, seorang rabbānī adalah guru atau pembimbing yang mengajarkan ilmu secara berjenjang—memulai dari ilmu-ilmu kecil sebelum ilmu-ilmu besar. Inilah prinsip kurikulum pendidikan yang otentik dalam Islam. Melompati jenjang akan menyebabkan fitnah ilmiah dan kebingungan pemahaman.

📖 “كن ربانيًا؛ ابدأ بالصغير من العلم قبل الكبير”


4️⃣ Menyampaikan Ilmu di Luar Kapasitas Dapat Menimbulkan Fitnah

Ibn Masʿūd dan ʿAlī bin Abī Ṭālib pernah memperingatkan bahwa menyampaikan ilmu berat kepada orang yang belum siap adalah bentuk kerusakan ilmiah. Alih-alih bermanfaat, ilmu itu akan ditolak dan dianggap aneh karena belum sesuai level pemahaman audiensnya. Karenanya, tahapan belajar harus dijaga dan disesuaikan.

⚠️ Ilmu itu cahaya. Tapi cahaya yang menyilaukan bisa membakar.


5️⃣ Tidak Semua Penyimpangan Berada di Level yang Sama

Kita tidak boleh menyamaratakan semua kelompok atau tokoh yang berbeda pandangan seakan-akan mereka setara dalam kesesatan. Harus ada pembedaan kadar penyimpangan, dilihat dari konteks, dalil, dan kesalahan mereka. Tidak adil menempatkan semua dalam satu kotak hanya karena “berbeda”.

⚖️ Adil dalam perbedaan adalah bagian dari sunnah para ulama.


6️⃣ Fenomena Takut Dikritik Membunuh Keikhlasan

Sebagian penuntut ilmu bersuara keras dalam satu topik bukan karena yakin, tetapi karena takut dikritik oleh kelompok tertentu. Akhirnya, dakwah dan pembelajaran menjadi alat untuk mencari penerimaan, bukan karena ingin menyampaikan kebenaran. Ini adalah bentuk ketidakikhlasan yang halus tapi sangat berbahaya.

🕊️ Takut kepada manusia bisa menutupi ketundukan kepada Allah.


7️⃣ Usia Bukan Halangan untuk Memulai Belajar

Tidak sedikit tokoh besar dalam sejarah Islam yang baru memulai belajar secara serius di usia dewasa. Ibn Ḥazm, al-ʿIzz ibn ʿAbd al-Salām, dan lainnya adalah contoh nyata bahwa semangat belajar yang tulus tidak mengenal batas usia. Yang penting adalah niat, kesungguhan, dan bimbingan yang benar.

🕰️ Terlambat memulai lebih baik daripada menyesal tak pernah memulai.


8️⃣ Solusi: Kembali ke Ilmu yang Bermanfaat dan Lingkungan yang Sehat

Jalan keluar dari keterjebakan dalam fitnah dan perdebatan adalah dengan:

  • Kembali belajar dari dasar ilmu yang bermanfaat

  • Menemukan guru yang membimbing dengan adab

  • Meninggalkan lingkungan yang dipenuhi perdebatan

  • Menguatkan keikhlasan dan bergantung hanya kepada Allah

🌿 Ilmu yang benar memperbaiki ibadahmu, bukan hanya memperkuat opini.


🏁 Penutup Reflektif:

Tadzkirah ini bukan sekadar nasihat teknis, tapi ajakan mendalam untuk menata ulang jalan kita dalam menuntut ilmu. Jangan biarkan waktu habis untuk sesuatu yang bukan bagian dari jalan kita. Jangan mulai dari kemarahan, mulailah dari keikhlasan. Jangan membaca fitnah, bacalah wahyu. Karena ilmu sejati itu bukan tentang tahu lebih banyak, tapi tentang tahu apa yang Allah ridai untuk diketahui terlebih dahulu.



TRENDING