Al-Imam Bukhari pun tak lepas dari tuduhan sesat, mubtadi', di-jarh,
diboikot (hajr), dilabeli dhoif dan padanya ada bid'ah jahmiyah (mas'alatul
lafdz) oleh para imam jarh wa ta'dil di masanya dan guru-gurunya (Muhammadz
Adz-Dzuhly, Abu Hatim Ar-Razy, Abu Zur'ah Ar-Razy dll), dilarang mengajar
dan kitab-kitabnya tidak boleh dipelajari di masanya, hingga akhir hayatnya
dengan kondisi seperti ini. Kalau seandainya kita hidup di masa itu dan
tidak bisa inshaf melihat permasalahan dalam lingkup ahlissunnah, mungkin
kita pun akan ikut arus mainstream dan akhirnya membuang kitab shahih
Al-Bukhary. Wallahulmusta'an.
Sebuah pelajaran berharga akan bahayanya menukil kalam atau atsar salaf yang ditujukan kepada ahlul bathil dengan konsekuensinya, kemudian diarahkan kepada sesama ahlussunnah dengan konsekuensi yang sama pula.
Oleh :
Masjid Darul Ilmi Manukan, Surabaya
Arsip 2019
Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana
selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad
bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam
Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki
salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah
itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk
mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis
Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di
majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah
antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua.
Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan
kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah,
pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang
kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal
itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi
(syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok
kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam
Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa
hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa
al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang
menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu
berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an;
apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu,
Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang
itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam
Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji
seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber
masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu,
dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah
makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah
makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan
berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu
al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah,
“Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan
kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun
berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang
menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam
Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli
bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya.
Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam
Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya
kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka
orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim
bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan
ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah, barangsiapa yang
ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal
hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil
selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang
dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan
beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam
adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari
Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam
ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil
tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak
dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi
menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau
menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui
keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan
maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan
yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad
bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan,
“Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku
lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku
tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam
Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang
membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku
lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai Abu Amr,
hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan
negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an
yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku
tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba
adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal.
658-659)