} h3.post-title{ text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

MENGIKUTI IMAM DALAM SHALAT: ANTARA SUNNAH, RUKUN, DAN KESALAHPAHAMAN

Apakah mengikuti imam berarti harus meniru seluruh gerak-geriknya, termasuk hal-hal yang tidak wajib dalam salat? Apakah kesalahan imam tetap harus diikuti karena “mengikuti imam adalah perintah”? Tadzkirah ini membedah secara ilmiah hadits Nabi ﷺ tentang kewajiban mengikuti imam—mengurai perbedaan antara rukun, sunnah, bid’ah, dan adab berjamaah. Jangan sampai semangat berjamaah justru membawa kita pada sikap ghuluw (berlebihan) atau taklid buta.

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah



🧭 Pengantar

Dalam praktik ibadah salat berjamaah, posisi seorang imam sangatlah sentral. Ia bukan hanya pemimpin shalat, tetapi juga representasi tatanan kolektif umat dalam beribadah. Hadits yang sangat masyhur—“Innamā juʿilal imāmu li yu’tamma bih”—sering dijadikan landasan untuk mewajibkan seluruh makmum mengikuti semua tindakan imam. Namun, seiring dengan berkembangnya wacana fiqih, muncul pertanyaan penting: Apakah semua perbuatan imam dalam salat wajib diikuti secara mutlak?

Tadzkirah ini mengajak kita untuk menyelami makna hadits tersebut secara kontekstual dan ilmiah. Terdapat nuansa penting yang harus dibedakan: antara perbuatan imam yang merupakan bagian dari rukun salat, dengan perbuatan yang hanya mustahab, atau bahkan perbuatan yang keliru. Apakah makmum tetap wajib mengikuti? Atau justru harus mengoreksi?

Lebih dari itu, dibahas pula adab dalam menyikapi perbedaan ulama, bagaimana menghormati ijtihad meskipun kita tidak sepakat, serta pentingnya terbiya (pembinaan ruhani dan ilmiah) dalam proses belajar. Karena mengikuti imam bukan hanya persoalan teknis gerakan, melainkan bagian dari kedisiplinan syar’i yang berpijak pada dalil, adab, dan pemahaman ushul.


📚 Rangkuman Faedah Ilmiah


🔹 1. Makna Hadits “Innamā Juʿilal Imām Li Yu’tamma Bih”

  • Hadits ini menjadi dasar bahwa imam dijadikan untuk diikuti dalam salat. Namun, pengamalannya tidak mutlak pada semua aspek.

  • Rasulullah ﷺ mengkhususkan konteks hadits ini pada rukun-rukun yang tampak (arkān ẓāhirah), seperti takbir, rukuk, sujud, dan salam.


🔹 2. Apa yang Wajib Diikuti dari Imam?

Wajib diikuti:

  • Rukun salat yang mampu dilakukan (takbir, rukuk, sujud, dsb).

Tidak wajib diikuti:

  • Kesalahan imam (misalnya berdiri untuk rakaat ke-5 dalam salat 4 rakaat).

  • Perbuatan mustahab (seperti jalsah istirahah) yang tidak diketahui makmum karena posisi jauh.

  • Sunnah atau kebiasaan imam yang bukan bagian dari syarat sah salat (seperti memakai imamah/turban).


LELAH DALAM FITNAH, LUPA DALAM ILMU

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Audio tadzkirah berbahasa Inggris

Tak semua yang terlihat seperti kesungguhan itu benar-benar ilmu. Dalam era banjir informasi dan konten saling membantah, banyak pencari kebenaran justru tersesat dalam pusaran debat, komentar, dan fatwa yang belum waktunya mereka sentuh. 

Tadzkirah ini menyadarkan kita bahwa memulai belajar dari tempat yang salah bisa menghancurkan semangat, merusak akidah, dan menghilangkan barakah ilmu. Jangan biarkan semangatmu terseret pada jalan yang bukan jalurmu. Pahami dulu tingkatan ilmu, lalu melangkahlah dengan bimbingan yang tepat—sebelum waktumu habis untuk sesuatu yang tak seharusnya kau baca.



🧭 Pengantar

Dalam tradisi keilmuan Islam, metode pencarian ilmu (ṭalab al-ʿilm) bukanlah proses yang sembarangan. Ia memiliki hirarki, aturan, dan adab yang diakui para ulama sejak masa Salaf hingga hari ini. Namun pada zaman ini, tidak sedikit orang yang baru memulai perjalanan ilmiah justru terjebak dalam lingkaran debat, kecaman, dan fitnah yang tersebar luas melalui media sosial, forum dakwah, dan platform daring lainnya.

Banyak di antara mereka, dengan semangat tinggi namun tanpa dasar ilmu yang matang, langsung menyelami buku-buku bantahan (rudūd), pembahasan tajam tentang jarḥ wa taʿdīl, bahkan ikut dalam polemik internal para da‘i dan asatidz. Akibatnya, waktu habis untuk membaca konflik, bukan membangun pondasi iman. Hati menjadi keras, dada sesak oleh syubhat, dan lisan terbiasa mencela sebelum paham.

Tadzkirah ini menjadi peringatan penting bagi siapa pun yang mengaku pencari kebenaran: ilmu itu dimulai dari dasar, bukan dari fitnah. Metode Salaf yang benar bukan menanamkan syak wasangka, tapi membina iman, adab, dan manhaj secara bertahap. Jangan terjebak dalam ‘semangat yang salah kamar’. Mulailah dari ilmu yang membenahi shalatmu, memperbaiki tauhidmu, dan menumbuhkan akhlakmu—itulah ilmu yang akan menyelamatkanmu, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.


📚 Rangkuman Faedah Lengkap


1️⃣ Bahaya Membaca Fitnah dan Debat Sejak Awal Belajar

Banyak penuntut ilmu tergelincir karena lebih dahulu tenggelam dalam konten-konten bantahan (rudūd), polemik hizbi, dan isu-isu jarḥ wa taʿdīl, sebelum memiliki fondasi dasar dalam ilmu agama. Hal ini membuat mereka menghabiskan waktu dengan membaca konflik, bukan membangun pondasi ilmu dan iman. Akibatnya, hati menjadi keras, pemahaman sempit, dan semangat belajar pun menyimpang dari tujuan awal.

🔍 Ilmu tidak dimulai dari mencela, tetapi dari memahami.


2️⃣ Kewajiban Memulai Ilmu dari Dasar dan Bertahap

Tradisi Salaf menekankan pentingnya memulai ilmu dari yang paling dasar: seperti tauhid, fikih ibadah, tajwid, dan akhlak. Pembelajaran harus sesuai tingkat kemampuan, bukan langsung masuk ke ranah perbandingan kelompok, pembahasan bid’ah, atau perdebatan akidah mendalam yang belum layak ditangani oleh penuntut ilmu pemula.

📌 “Barang siapa yang ingin membangun rumah, jangan mulai dari atap.”


MEMBEDAKAN ANTARA KEKELIRUAN DAN PENYIMPANGAN: STUDI ATAS KAIDAH AL-‘UDZRU BIT-TA’WĪL

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Arsip Masjid Darul Ilmi, Surabaya (C) 2020 - Note: Konteks tadzkirah ini untuk internal Ahlus Sunnah, bukan di luarnya.

✍️ Dalam sejarah keilmuan Islam, kesalahan yang lahir dari ta’wil sering kali dimaafkan, selama ia tidak muncul dari sikap menentang kebenaran secara sengaja. Tadzkirah ini mengajak kita menyelami lebih dalam sebuah kaidah besar dalam tradisi Ahlus Sunnah: al-‘udzru bit-ta’wīl, yaitu memberi uzur terhadap kesalahan yang berlandaskan ijtihad atau pemahaman dalil yang salah tapi masih bisa ditoleransi. Karena tidak semua yang berbeda berarti sesat, dan tidak semua yang salah pantas disesatkan. Keadilan dalam menilai, serta kehati-hatian dalam menghukum, adalah bagian dari amanah keilmuan.


📘 Pengantar

Di tengah semangat membela kebenaran, banyak dari kita lupa satu hal mendasar: kebenaran tidak pernah berdiri sendiri tanpa keadilan. Islam adalah agama yang memuliakan ilmu dan menjunjung tinggi etika dalam menyikapi perbedaan. Namun dalam kenyataan, sering kali perbedaan pendapat dianggap penyimpangan, dan kesalahan ijtihad langsung divonis sebagai kesesatan. Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah semua yang keliru layak dicap menyimpang?

Dalam dunia ilmu, perbedaan adalah keniscayaan. Para imam besar pun berselisih dalam banyak perkara. Lantas, apakah mereka saling membatalkan dan mencap satu sama lain sebagai ahli bid’ah? Tentu tidak. Sebab para ulama salaf memahami satu prinsip besar yang menjaga umat dari kehancuran akibat takfīr, tabdī‘, dan tadlīl yang serampangan: kaidah al-‘udzru bit-ta’wīl.

Kaidah ini mengajarkan bahwa tidak semua kesalahan pantas dihukum, selama kesalahan itu lahir dari ta’wil yang bisa dimaklumi secara ilmiah—yakni kesalahan dalam memahami teks syar’i, yang bukan karena niat membangkang atau mempermainkan agama, melainkan karena keterbatasan manusiawi dalam menafsirkan wahyu. Di sinilah letak kemuliaan ilmu: ia bukan hanya alat untuk menegakkan hujjah, tapi juga tameng dari kezhaliman dalam menghukumi sesama muslim.

Melalui tadzkirah ini, kita diajak melihat bagaimana para ulama salaf menyikapi perbedaan dengan penuh kedewasaan dan ketelitian. Kita diperlihatkan contoh-contoh riil—seperti pendapat Ibn Abbas tentang riba, atau kekeliruan para mujtahid dalam masalah-masalah ijtihadiyah—yang semuanya tidak otomatis diganjar dengan vonis keagamaan, melainkan didekati dengan ilmu, adab, dan kelapangan dada.

Dalam era media sosial dan polarisasi pandangan yang tajam, kaidah ini semakin mendesak untuk dipahami dan diamalkan. Sebab tanpa prinsip ini, umat akan terjerumus pada kebiasaan membatalkan orang lain hanya karena berbeda, dan yang lebih parah: menjadikan perbedaan sebagai dalih untuk menebar kebencian atas nama agama.

🎧 Tadzkirah ini bukan sekadar pembelajaran kaidah, tapi pelajaran hidup dalam beragama: bagaimana bersikap adil, tenang, dan ilmiah di tengah badai perbedaan. Mungkin inilah pintu awal menuju keluasan berpikir dan kelapangan hati yang telah lama hilang dalam dakwah dan interaksi sosial kita hari ini.


📚 Ringkasan Faedah Tadzkirah


1️⃣ Definisi Kaidah: Apa Itu al-‘Udzru bit-Ta’wīl?

Kaidah ini berarti memberikan maaf atau uzur terhadap orang yang terjatuh dalam kesalahan, apabila kesalahannya terjadi karena ta’wil yang dapat dimaklumi secara ilmiah—bukan karena niat membangkang atau meremehkan dalil.

📌 “Kita tidak menghukum niat, kita menilai berdasarkan ilmu dan kelayakan alasan.”


TRENDING