} h3.post-title{ text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

TABARRUK & TAWASSUL: ANTARA SUNNAH DAN JURANG SYIRIK

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi ke-6 Tarikh 08/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 YBHG Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + English. Sesi 3Sesi 4Sesi 5Sesi 6

Buka halaman 25

Pengantar 

Di tengah derasnya arus romantisasi sejarah dan pengagungan simbol-simbol agama, seringkali garis halus antara cinta kepada Nabi ﷺ dan pelanggaran tauhid menjadi kabur. Banyak yang mengira setiap bentuk penghormatan pasti berpahala, padahal sebagian justru menjerumuskan ke jurang syirik.

Pelajaran ini membuka mata: bahwa tabarruk dan tawassul bukan wilayah bebas yang bisa diatur oleh rasa, tetapi ranah tawqifi yang dikawal ketat oleh dalil. Tanpa disiplin ini, penghormatan bisa berubah menjadi penyembahan, dan cinta bisa terpelintir menjadi pelanggaran terbesar terhadap Sang Pencipta.


📚 Faedah Lengkap

1️⃣ Pembukaan & Tujuan Kajian

  • Tema kajian lanjutan dari risalah sebelumnya karya Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz — fokus pada menjaga tauhid dan menghindari syirik melalui pemahaman benar tentang tabarruk (mengambil berkah) dan tawassul (perantara).


2️⃣ Tabarruk yang Disyariatkan

  • Hajar Aswad & Rukun Yamani: Mencium dan menyentuhnya adalah ibadah khusus kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

  • Tabarruk dengan rambut, keringat, dan air wudhu Nabi ﷺ diperbolehkan di masa hidup beliau karena ada nash shahih yang membolehkannya.

  • Tidak berlaku untuk selain Nabi ﷺ — sahabat tidak bertabarruk pada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, atau selainnya.,

  • Air Zamzam memiliki keberkahan khusus dari Allah.


TABARRUK & TAWASSUL: ANTARA SUNNAH DAN SYIRIK

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi ke-6 Tarikh 08/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 YBHG Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + English. Sesi 2Sesi 3Sesi 4Sesi 5Sesi 6



Buka Halaman 10

🌿 Pengantar

Dalam isu tabarruk dan tawassul, umat sering terbelah antara dua kutub: yang menghalalkan semua bentuknya atas nama cinta kepada Nabi ﷺ, dan yang menolak mentah-mentah hingga menutup pintu syariat yang sah. Padahal, kebenaran bukanlah monopoli sentimen, melainkan milik dalil yang jelas dan warisan praktik generasi awal umat ini.

Berlebihan dalam perkara yang dibolehkan bisa menyeret kepada bid’ah, sementara mengharamkan apa yang diizinkan syariat adalah sikap ghuluw yang sama berbahayanya. Inilah mengapa membedakan antara tabarruk dan tawassul yang syar’i dan yang terlarang bukan sekadar kajian fikih, tapi juga penjagaan aqidah umat dari dua jurang ekstrem: syirik dan penolakan sunnah.

📚 Ringkasan Faedah

1️⃣ Pendahuluan dan Definisi

  • Tabarruk: Mengambil keberkahan dari sesuatu yang diyakini memiliki keberkahan karena hubungan dengan Nabi ﷺ atau perkara syar’i.

  • Tawassul: Menjadikan sesuatu sebagai perantara doa kepada Allah.

  • Kedua konsep ini sering menjadi bahan perdebatan dan memerlukan penjelasan berdasar dalil.


2️⃣ Dalil dan Bentuk Tabarruk yang Dibenarkan

  • Tabarruk dengan perkara yang jelas disebut dalam syariat, seperti:

    • Mengambil sisa wudhu Nabi ﷺ.

    • Meminum air dari bejana beliau.

    • Mengusap tubuh dengan pakaian beliau.

  • Semua ini hanya berlaku pada Nabi ﷺ, tidak kepada selain beliau.


MEMBONGKAR LOGIKA KELIRU DALAM MEMAHAMI SIFAT ALLAH

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi ke-6 Tarikh 08/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 YBHG Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + English. Sesi-1Sesi-2Sesi-3Sesi-4Sesi-5


Di era modern ini, banyak orang mengaku berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi ketika berbicara tentang nama dan sifat Allah, mereka justru terjebak dalam ta’wil (penyimpangan makna), ta’thil (penolakan makna), atau bahkan tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk). Tragisnya, sebagian merasa pemikirannya ilmiah—padahal justru bertentangan dengan metode ilmiah para salaf.

Daurah ini memaparkan metode emas untuk menghadapi syubhat yang dilontarkan oleh berbagai aliran menyimpang. Tidak hanya mengungkap siapa mereka, tetapi juga membongkar logika keliru mereka satu per satu, lalu membangun kembali pondasi aqidah di atas manhaj salaf. Anda akan dibuat sadar, bahwa memahami ayat dan hadits tidak cukup hanya dengan “terjemah mentah”, tetapi butuh konteks, kaidah bahasa Arab, dan pemahaman ulama yang lurus. Siapkah Anda untuk tidak lagi terjebak dalam jebakan bahasa dan logika para pengusung bid’ah?

📚 Faedah-faedah Lengkap 

1. Pembukaan Daurah

  • Kitab yang dibahas: Al-Qawaa’idul-Mutslaa fi Sifaatillaahi wa Asmaa’ihi al-Husna karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله.

  • Tujuan: menghubungkan kajian terdahulu dengan pembahasan hari ini untuk menyelesaikan kitab secara runtut.


2. Kaidah-Kaidah Utama

  • 7 kaidah terkait asma’ Allah.

  • 7 kaidah terkait sifat Allah.

  • Memahami asma’ dan sifat harus mengikuti kaidah bahasa Arab dan pemahaman salaf, tanpa ta’wil atau tahrif.


IMAM BUKHARI DAN MUSIBAH TUDUHAN: CERMIN KERAPUHAN ILMU UMAT

Kalau Imam Bukhari Saja Bisa Difitnah, Siapa Kamu yang Merasa Paling Benar? Sebuah tadzkirah untuk internal Ahlus Sunnah terkhusus penuntut ilmunya.

Oleh : Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Arsip 2019, Masjid Darul Ilmi Manukan, Surabaya

🔎 Banyak orang hari ini berteriak “kami salafi!”, “kami pejuang sunnah!”, “kami hanya ambil dari atsar!”, tapi… apa benar mereka tahu apa yang mereka bicarakan?

Fakta yang menyakitkan — bahkan Imam Al-Bukhari رحمه الله, ulama terbesar dalam disiplin Hadis, dituduh dan dikucilkan oleh umatnya sendiri. Pertanyaannya: kok bisa?!


📛 Kenapa tokoh sebesar itu dihantam fitnah oleh orang-orang yang mengaku cinta sunnah?
📛 Apakah karena kesalahan aqidah? Bukan.
📛 Apakah karena akhlaknya? Bukan juga.
📛 Lalu kenapa?

Jawabannya getir: karena umat tidak paham ilmu — mereka hanya paham cuplikan. Mereka menjadikan satu potong atsar sebagai senjata, dan menyebut itu "madzhab salaf", padahal yang mereka lakukan hanyalah mengemas hawa nafsu dengan label atsar.

Dan lebih gilanya lagi… setiap orang bikin madzhab sendiri.
➡️ “Ini pendapat salaf.”
➡️ “Ini atsar sahabat.”
➡️ “Ini manhaj.”
Padahal kalau ditelusuri? Nggak nyambung.

📣 Tadzkirah ini adalah tamparan keras bagi mereka yang merasa paling benar hanya karena mampu mengutip satu-dua atsar, padahal tidak punya pemahaman, tidak punya metodologi, dan tidak kenal sejarah.

Bungkus keilmuan tanpa kedalaman adalah bencana. Dan Imam Bukhari, salah satu korban nyatanya.

Tadzkirah ini mengajak kita untuk menggali lebih dalam — bagaimana penyimpangan dalam memahami "manhaj salaf" justru menjadi bumerang bagi umat sendiri, dan bagaimana itu menjadi sebab dari musibah yang menimpa tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Bukhari.

Sebuah seruan akademik yang menusuk: Jangan sekadar membanggakan salaf, tanpa tahu bagaimana mereka berpikir. Mengutip satu atsar dan menjadikannya sebagai dalil tunggal dalam setiap masalah adalah kebodohan yang diselimuti kesalehan palsu. Inilah benih perpecahan dan musibah intelektual.


🧠 Ringkasan Faedah

📍 1. Pentingnya Memahami "Hasil Salaf" secara Utuh

Banyak orang mengklaim mengikuti salaf, namun hanya mengambil hasil atau pendapat mereka tanpa memahami proses ijtihad atau sebab-sebab di baliknya.
🔎 Salaf bukan sekadar nama atau simbol — mereka memiliki metodologi dalam memahami agama yang tidak bisa disederhanakan hanya dalam satu atau dua kutipan.

📍 2. Bahaya Mengambil Atsar Tanpa Ilmu

⚠️ Orang-orang mulai menciptakan "madzhab baru" dari atsar-atsar yang mereka kutip sendiri tanpa memahami konteks, sejarah, atau maqasid (tujuan) syariah.
➡️ Inilah asal mula perpecahan, karena setiap individu merasa pendapatnya didukung atsar, padahal ia hanya membaca permukaan.

03- MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH NAMA DAN SIFAT ALLAH: KONSEP KETAUHIDAN YANG MENDASAR DALAM ISLAM

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 Yang Berbahagia Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi 3 Petang 06/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + EnglishSesi-1Sesi-2Sesi-3Sesi-4, Sesi-5



🧭 Pengantar

Dalam khazanah ilmu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pembahasan tentang sifat-sifat Allah (ṣifātullāh) merupakan fondasi yang sangat penting dan sensitif. Salah satu kesalahan paling besar dalam sejarah pemikiran Islam adalah penyelewengan terhadap nama dan sifat Allah, baik melalui penolakan (taʿṭīl), penyerupaan (tasybīh), penggambaran (takyīf), atau pengubahan makna (taḥrīf). Daurah ini menggali secara mendalam kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ulama untuk menjaga kemurnian tauhid dalam bab Asmā’ wa Ṣifāt.

Melalui pendekatan sistematis terhadap kitab al-Qawāʿid al-Muthlā karya Ibnu ‘Utsaimin, dipaparkan prinsip-prinsip penting agar umat Islam tidak tersesat oleh pemikiran kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, maupun sebagian Ashā’irah dan kelompok kontemporer yang masih terpengaruh logika filsafat Yunani. Kajian ini mengajarkan bagaimana seharusnya seorang Muslim menetapkan sifat Allah dengan ilmu, adab, dan komitmen terhadap dalil wahyu.


📚 Kaidah-Kaidah Aqidah dalam Bab Ṣifātullāh

🔹 Kaidah 3: Sifat Allah Terbagi Menjadi Dua — Tsubūtiyyah dan Salbiyyah

  1. Ṣifāt Tsubūtiyyah adalah sifat-sifat yang ditegaskan oleh Allah bagi Diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, contohnya: الحياة (kehidupan), العلم (ilmu), القدرة (kekuasaan), الوجه (wajah), اليدان (dua tangan), السمع (pendengaran), البصر (penglihatan).

    • Sifat ini semuanya mengandung kesempurnaan dan harus diyakini secara hakiki.

    • Tidak boleh ditakwil menjadi makna kiasan (seperti “tangan = kekuasaan”).

  2. Ṣifāt Salbiyyah adalah sifat-sifat yang ditolak atau dinafikan oleh Allah dari Diri-Nya karena sifat itu mencerminkan kekurangan, seperti: الموت (kematian), النوم (tidur), الجهل (kebodohan), العجز (kelemahan), الظلم (kezaliman).

    • Penafian sifat ini mewajibkan penetapan lawannya secara sempurna (مثلاً: menolak kematian → menetapkan kesempurnaan kehidupan).

📌 Contoh QS. al-Furqan: 58:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ
“Dan bertawakallah kepada Dzat Yang Maha Hidup, yang tidak akan mati.”


02 - MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH NAMA DAN SIFAT ALLAH: KONSEP KETAUHIDAN YANG MENDASAR DALAM ISLAM

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 Yang Berbahagia Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi 2 Pagi 06/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + English , Sesi-1Sesi-2Sesi-3Sesi-4, Sesi-5

🧭 Pengantar

Dalam kajian teologis Islam, bab al-Asmā’ wa al-Ṣifāt (Nama dan Sifat Allah) merupakan bagian paling sensitif sekaligus paling krusial. Kesalahan memahami aspek ini bisa menyeret seseorang ke dalam penyimpangan aqidah yang serius, bahkan sampai pada batas-batas kekufuran. Kajian ini menekankan bahwa pembahasan tentang nama dan sifat Allah tidak boleh dibangun atas dasar logika bebas, filosofi spekulatif, atau selera pribadi. Ia adalah bāb tauqīfī, yaitu bab yang hanya boleh diyakini sesuai dengan apa yang datang dari dalil syar'i—al-Qur'an dan Sunnah Shahihah.

Dalam sesi ini, dijelaskan dengan sangat rinci dan sistematis beberapa qawāʿid (kaidah-kaidah pokok) dalam memahami Nama dan Sifat Allah berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh berbagai kelompok bid'ah seperti Jahmiyyah, Mu'tazilah, Asy'ariyyah, bahkan sebagian sufi ekstrem. Kajian ini bukan sekadar kajian teoretis—ia merupakan fondasi iman.


📌 Rangkuman Faedah Ilmiah Lengkap:

🔹 Kaidah ke-6: Nama-Nama Allah Tidak Terbatas pada 99

  • Dalil Hadits: Rasulullah ﷺ bersabda:

    "إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِئَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ"
    “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang mengihṣā-nya akan masuk surga.”
    (Muttafaq ʿAlaih)

  • Penjelasan:

    • Hadits ini tidak bermakna bahwa jumlah nama Allah hanya 99. Tetapi maksudnya, ada 99 nama yang memiliki keutamaan khusus, yakni siapa yang menghafal dan memahami maknanya akan masuk surga.

    • Nama-nama Allah jauh lebih banyak dari itu. Dalilnya adalah hadits lain:

      "أسألك بكل اسم هو لك، سميت به نفسك، أو أنزلته في كتابك، أو علمته أحداً من خلقك، أو استأثرت به في علم الغيب عندك."
      “Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama milik-Mu yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
      (HR. Ahmad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

    • Artinya, ada nama-nama Allah yang tidak diberitakan kepada manusia dan hanya diketahui Allah sendiri.

    • Kaidah: Tidak ada penetapan daftar resmi 99 nama dari Nabi ﷺ. Hadits yang mencantumkan daftar nama-nama tersebut (dalam riwayat Tirmidzi) adalah lemah.

  • Ibn ‘Utsaimin mengumpulkan 81 nama dari al-Qur’an dan 20 dari Sunnah. Total 101 nama. Namun itu bukan batas akhir.


01- MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH NAMA DAN SIFAT ALLAH: KONSEP KETAUHIDAN YANG MENDASAR DALAM ISLAM

🔸 Daurah Ilmiah “Bersama Tokoh Ilmuwan Negara Yaman ke Perlis” 🔸 Yang Berbahagia Sheikh Dr. Abdullah bin Umar bin Mar’i (Pengerusi Lembaga Pemegang Amanah Universiti Islam Antarabangsa Yaman & Pengelola Dar al-Hadith al-Fiyush dan al-Shihr, Yaman). Siaran ini dikuasakan oleh Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Perlis (MAIPs).

Penerjemah: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Sesi 1 Pagi 06/08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Perlis

Translate dalam Bahasa Indonesia/Malay + English. Sesi-1Sesi-2Sesi-3Sesi-4, Sesi-5

🧭 Pengantar

🔍 Tahukah Anda, bahwa salah satu penyebab terbesar penyimpangan dalam agama adalah kesalahan dalam memahami siapa itu Allah? Bukan karena kurangnya keyakinan, tapi karena kekeliruan dalam menggambarkan-Nya—entah dengan menyerupakan-Nya dengan makhluk, menolak nama-nama-Nya, atau mengosongkan makna sifat-sifat-Nya.

📖 Dalam khazanah Islam, bab Asmā’ wa Ṣifāt (nama-nama dan sifat-sifat Allah) bukan hanya cabang dari ilmu aqidah. Ia adalah inti dari Tawḥīd al-Maʿrifah wal-Ithbāt—sebuah jenis tauhid yang menjadi pondasi segala bentuk ibadah. Tanpa pengenalan yang benar terhadap sifat-sifat Allah, maka seluruh bangunan iman menjadi rapuh. Bagaimana mungkin seorang hamba dapat beribadah kepada Rabb yang tidak dikenalnya dengan benar?

🧠 Sayangnya, sejarah Islam mencatat bagaimana banyak kelompok, dari Jahmiyyah hingga Asyā’irah, terjatuh dalam kesalahan besar karena membiarkan akal mendikte teks wahyu. Mereka menolak bahwa Allah memiliki “tangan”, “wajah”, atau bahwa Allah “berbicara”, karena mengira itu menyerupakan-Nya dengan makhluk. Padahal, para ulama salaf telah meletakkan prinsip kokoh:

“Nama-Nya kami tetapkan, makna-Nya kami imani, hakikat-Nya kami serahkan kepada-Nya. Tidak kami samakan, tidak pula kami gambarkan.”

TIGA PILAR MENUNTUT ILMU DALAM TIMBANGAN QUR’AN DAN SUNNAH

Di zaman ketika semangat mencari ilmu sering tak disertai metode yang benar, pembahasan ini hadir sebagai koreksi dan pencerahan. Menuntut ilmu bukan sekadar duduk di majelis atau membaca buku, tapi ibadah yang punya hukum, adab, dan cara. Lalu, apa cara yang benar menurut Al-Qur’an dan Sunnah?

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Arsip 08/2025 Masjid Alwi Kangar, Negeri Pelis



🧭 Pengantar

Dalam tradisi keilmuan Islam, pencarian ilmu (ṭalab al-‘ilm) merupakan kewajiban syar‘i yang tidak bersifat opsional. Ia bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi bagian dari manhaj hidup seorang Muslim. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

"طلب العلم فريضة على كل مسلم"
"Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah, hasan)

Namun ironisnya, banyak umat Islam hari ini mengabaikan kaidah dan cara yang benar dalam menuntut ilmu. Lebih menyedihkan lagi, sebagian hanya semangat pada aspek perdebatan, viralitas, atau popularitas, tanpa membangun pemahaman agama yang utuh dan bertahap.

Tadzkirah ini menyentuh akar persoalan tersebut—menyeru agar umat Islam kembali pada jalur thalab al-‘ilm yang sahih, bukan hanya berdasarkan semangat, tetapi juga berdasarkan wahyu.


📚 Rangkuman Faedah Lengkap

1️⃣ Ilmu Adalah Fardu ‘Ain, Bukan Opsional

📌 Dalil utama:

فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ (QS. At-Taubah: 122)

🔸 Menuntut ilmu agama adalah fardu ‘ain atas setiap individu.
🔸 Umat Islam tidak punya pilihan selain mengutus sebagian anggotanya untuk mendalami agama dan kembali memberi peringatan kepada kaumnya.
🔸 Tidak cukup hanya mengandalkan semangat; perlu metode dan kurikulum.


MENGIKUTI IMAM DALAM SHALAT: ANTARA SUNNAH, RUKUN, DAN KESALAHPAHAMAN

Apakah mengikuti imam berarti harus meniru seluruh gerak-geriknya, termasuk hal-hal yang tidak wajib dalam salat? Apakah kesalahan imam tetap harus diikuti karena “mengikuti imam adalah perintah”? Tadzkirah ini membedah secara ilmiah hadits Nabi ﷺ tentang kewajiban mengikuti imam—mengurai perbedaan antara rukun, sunnah, bid’ah, dan adab berjamaah. Jangan sampai semangat berjamaah justru membawa kita pada sikap ghuluw (berlebihan) atau taklid buta.

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah



🧭 Pengantar

Dalam praktik ibadah salat berjamaah, posisi seorang imam sangatlah sentral. Ia bukan hanya pemimpin shalat, tetapi juga representasi tatanan kolektif umat dalam beribadah. Hadits yang sangat masyhur—“Innamā juʿilal imāmu li yu’tamma bih”—sering dijadikan landasan untuk mewajibkan seluruh makmum mengikuti semua tindakan imam. Namun, seiring dengan berkembangnya wacana fiqih, muncul pertanyaan penting: Apakah semua perbuatan imam dalam salat wajib diikuti secara mutlak?

Tadzkirah ini mengajak kita untuk menyelami makna hadits tersebut secara kontekstual dan ilmiah. Terdapat nuansa penting yang harus dibedakan: antara perbuatan imam yang merupakan bagian dari rukun salat, dengan perbuatan yang hanya mustahab, atau bahkan perbuatan yang keliru. Apakah makmum tetap wajib mengikuti? Atau justru harus mengoreksi?

Lebih dari itu, dibahas pula adab dalam menyikapi perbedaan ulama, bagaimana menghormati ijtihad meskipun kita tidak sepakat, serta pentingnya terbiya (pembinaan ruhani dan ilmiah) dalam proses belajar. Karena mengikuti imam bukan hanya persoalan teknis gerakan, melainkan bagian dari kedisiplinan syar’i yang berpijak pada dalil, adab, dan pemahaman ushul.


📚 Rangkuman Faedah Ilmiah


🔹 1. Makna Hadits “Innamā Juʿilal Imām Li Yu’tamma Bih”

  • Hadits ini menjadi dasar bahwa imam dijadikan untuk diikuti dalam salat. Namun, pengamalannya tidak mutlak pada semua aspek.

  • Rasulullah ﷺ mengkhususkan konteks hadits ini pada rukun-rukun yang tampak (arkān ẓāhirah), seperti takbir, rukuk, sujud, dan salam.


🔹 2. Apa yang Wajib Diikuti dari Imam?

Wajib diikuti:

  • Rukun salat yang mampu dilakukan (takbir, rukuk, sujud, dsb).

Tidak wajib diikuti:

  • Kesalahan imam (misalnya berdiri untuk rakaat ke-5 dalam salat 4 rakaat).

  • Perbuatan mustahab (seperti jalsah istirahah) yang tidak diketahui makmum karena posisi jauh.

  • Sunnah atau kebiasaan imam yang bukan bagian dari syarat sah salat (seperti memakai imamah/turban).


LELAH DALAM FITNAH, LUPA DALAM ILMU

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Audio tadzkirah berbahasa Inggris

Tak semua yang terlihat seperti kesungguhan itu benar-benar ilmu. Dalam era banjir informasi dan konten saling membantah, banyak pencari kebenaran justru tersesat dalam pusaran debat, komentar, dan fatwa yang belum waktunya mereka sentuh. 

Tadzkirah ini menyadarkan kita bahwa memulai belajar dari tempat yang salah bisa menghancurkan semangat, merusak akidah, dan menghilangkan barakah ilmu. Jangan biarkan semangatmu terseret pada jalan yang bukan jalurmu. Pahami dulu tingkatan ilmu, lalu melangkahlah dengan bimbingan yang tepat—sebelum waktumu habis untuk sesuatu yang tak seharusnya kau baca.



🧭 Pengantar

Dalam tradisi keilmuan Islam, metode pencarian ilmu (ṭalab al-ʿilm) bukanlah proses yang sembarangan. Ia memiliki hirarki, aturan, dan adab yang diakui para ulama sejak masa Salaf hingga hari ini. Namun pada zaman ini, tidak sedikit orang yang baru memulai perjalanan ilmiah justru terjebak dalam lingkaran debat, kecaman, dan fitnah yang tersebar luas melalui media sosial, forum dakwah, dan platform daring lainnya.

Banyak di antara mereka, dengan semangat tinggi namun tanpa dasar ilmu yang matang, langsung menyelami buku-buku bantahan (rudūd), pembahasan tajam tentang jarḥ wa taʿdīl, bahkan ikut dalam polemik internal para da‘i dan asatidz. Akibatnya, waktu habis untuk membaca konflik, bukan membangun pondasi iman. Hati menjadi keras, dada sesak oleh syubhat, dan lisan terbiasa mencela sebelum paham.

Tadzkirah ini menjadi peringatan penting bagi siapa pun yang mengaku pencari kebenaran: ilmu itu dimulai dari dasar, bukan dari fitnah. Metode Salaf yang benar bukan menanamkan syak wasangka, tapi membina iman, adab, dan manhaj secara bertahap. Jangan terjebak dalam ‘semangat yang salah kamar’. Mulailah dari ilmu yang membenahi shalatmu, memperbaiki tauhidmu, dan menumbuhkan akhlakmu—itulah ilmu yang akan menyelamatkanmu, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.


📚 Rangkuman Faedah Lengkap


1️⃣ Bahaya Membaca Fitnah dan Debat Sejak Awal Belajar

Banyak penuntut ilmu tergelincir karena lebih dahulu tenggelam dalam konten-konten bantahan (rudūd), polemik hizbi, dan isu-isu jarḥ wa taʿdīl, sebelum memiliki fondasi dasar dalam ilmu agama. Hal ini membuat mereka menghabiskan waktu dengan membaca konflik, bukan membangun pondasi ilmu dan iman. Akibatnya, hati menjadi keras, pemahaman sempit, dan semangat belajar pun menyimpang dari tujuan awal.

🔍 Ilmu tidak dimulai dari mencela, tetapi dari memahami.


2️⃣ Kewajiban Memulai Ilmu dari Dasar dan Bertahap

Tradisi Salaf menekankan pentingnya memulai ilmu dari yang paling dasar: seperti tauhid, fikih ibadah, tajwid, dan akhlak. Pembelajaran harus sesuai tingkat kemampuan, bukan langsung masuk ke ranah perbandingan kelompok, pembahasan bid’ah, atau perdebatan akidah mendalam yang belum layak ditangani oleh penuntut ilmu pemula.

📌 “Barang siapa yang ingin membangun rumah, jangan mulai dari atap.”


MEMBEDAKAN ANTARA KEKELIRUAN DAN PENYIMPANGAN: STUDI ATAS KAIDAH AL-‘UDZRU BIT-TA’WĪL

Oleh: Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah - Arsip Masjid Darul Ilmi, Surabaya (C) 2020 - Note: Konteks tadzkirah ini untuk internal Ahlus Sunnah, bukan di luarnya.

✍️ Dalam sejarah keilmuan Islam, kesalahan yang lahir dari ta’wil sering kali dimaafkan, selama ia tidak muncul dari sikap menentang kebenaran secara sengaja. Tadzkirah ini mengajak kita menyelami lebih dalam sebuah kaidah besar dalam tradisi Ahlus Sunnah: al-‘udzru bit-ta’wīl, yaitu memberi uzur terhadap kesalahan yang berlandaskan ijtihad atau pemahaman dalil yang salah tapi masih bisa ditoleransi. Karena tidak semua yang berbeda berarti sesat, dan tidak semua yang salah pantas disesatkan. Keadilan dalam menilai, serta kehati-hatian dalam menghukum, adalah bagian dari amanah keilmuan.


📘 Pengantar

Di tengah semangat membela kebenaran, banyak dari kita lupa satu hal mendasar: kebenaran tidak pernah berdiri sendiri tanpa keadilan. Islam adalah agama yang memuliakan ilmu dan menjunjung tinggi etika dalam menyikapi perbedaan. Namun dalam kenyataan, sering kali perbedaan pendapat dianggap penyimpangan, dan kesalahan ijtihad langsung divonis sebagai kesesatan. Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah semua yang keliru layak dicap menyimpang?

Dalam dunia ilmu, perbedaan adalah keniscayaan. Para imam besar pun berselisih dalam banyak perkara. Lantas, apakah mereka saling membatalkan dan mencap satu sama lain sebagai ahli bid’ah? Tentu tidak. Sebab para ulama salaf memahami satu prinsip besar yang menjaga umat dari kehancuran akibat takfīr, tabdī‘, dan tadlīl yang serampangan: kaidah al-‘udzru bit-ta’wīl.

Kaidah ini mengajarkan bahwa tidak semua kesalahan pantas dihukum, selama kesalahan itu lahir dari ta’wil yang bisa dimaklumi secara ilmiah—yakni kesalahan dalam memahami teks syar’i, yang bukan karena niat membangkang atau mempermainkan agama, melainkan karena keterbatasan manusiawi dalam menafsirkan wahyu. Di sinilah letak kemuliaan ilmu: ia bukan hanya alat untuk menegakkan hujjah, tapi juga tameng dari kezhaliman dalam menghukumi sesama muslim.

Melalui tadzkirah ini, kita diajak melihat bagaimana para ulama salaf menyikapi perbedaan dengan penuh kedewasaan dan ketelitian. Kita diperlihatkan contoh-contoh riil—seperti pendapat Ibn Abbas tentang riba, atau kekeliruan para mujtahid dalam masalah-masalah ijtihadiyah—yang semuanya tidak otomatis diganjar dengan vonis keagamaan, melainkan didekati dengan ilmu, adab, dan kelapangan dada.

Dalam era media sosial dan polarisasi pandangan yang tajam, kaidah ini semakin mendesak untuk dipahami dan diamalkan. Sebab tanpa prinsip ini, umat akan terjerumus pada kebiasaan membatalkan orang lain hanya karena berbeda, dan yang lebih parah: menjadikan perbedaan sebagai dalih untuk menebar kebencian atas nama agama.

🎧 Tadzkirah ini bukan sekadar pembelajaran kaidah, tapi pelajaran hidup dalam beragama: bagaimana bersikap adil, tenang, dan ilmiah di tengah badai perbedaan. Mungkin inilah pintu awal menuju keluasan berpikir dan kelapangan hati yang telah lama hilang dalam dakwah dan interaksi sosial kita hari ini.


📚 Ringkasan Faedah Tadzkirah


1️⃣ Definisi Kaidah: Apa Itu al-‘Udzru bit-Ta’wīl?

Kaidah ini berarti memberikan maaf atau uzur terhadap orang yang terjatuh dalam kesalahan, apabila kesalahannya terjadi karena ta’wil yang dapat dimaklumi secara ilmiah—bukan karena niat membangkang atau meremehkan dalil.

📌 “Kita tidak menghukum niat, kita menilai berdasarkan ilmu dan kelayakan alasan.”


ILMU PERBANDINGAN MAZHAB: JALAN KELUAR DARI KEJUMUDAN BERAGAMA

Ahli Panel : Asy-Syaikh Ahmad Banajah Hafidzahullah Arsip 05/2025 Forum Perkampungan Sunnah Seri ke-10, digelar resmi oleh Kerajaan Negeri Perlis

Mengapa umat Islam saling menyalahkan hanya karena tidak sepakat soal qunūt, basmalah, atau jumlah rakaat tarawih? Apakah benar semua pendapat selain milik guru kita adalah keliru—bahkan sesat? Tadzkirah ini adalah pelajaran penting tentang betapa luasnya warisan keilmuan Islam dan bahayanya sikap sempit terhadap perbedaan. Melalui pendekatan ilmiah bernama fiqh al-muqāran (ilmu perbandingan mazhab), kita diajak keluar dari kejumudan dan kembali kepada keluasan rahmat Allah dalam memahami syariat-Nya.



📘 Pengantar 

Dalam sejarah peradaban Islam, umat tidak hanya diuji dengan kebodohan, tetapi juga dengan sikap jumud—yakni kekakuan berpikir dalam memahami agama. Kejumudan sering muncul bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena fanatisme terhadap satu pendekatan saja. Ketika seseorang merasa bahwa hanya mazhab atau guru yang ia ikuti yang benar, maka ia telah menutup kemungkinan kebenaran datang dari selain itu.

Ilmu perbandingan mazhab hadir sebagai alat intelektual untuk membuka wawasan, bukan membingungkan. Ia mengajarkan bahwa perbedaan dalam fikih adalah bagian dari dinamika keilmuan yang sah dan bahkan diberkahi. Tadzkirah ini secara lugas dan bernas memaparkan dua hal utama:

  1. Bahwa dua pertiga hukum fikih merupakan wilayah khilafiyah (perbedaan pandangan ulama).

  2. Bahwa fanatisme mazhab adalah sumber kejumudan yang menyebabkan perpecahan dan kebencian atas nama agama.

Tadzkirah ini juga menekankan pentingnya memahami kapan kita boleh melakukan inkar al-munkar dan kapan kita hanya melakukan amr bil ma’ruf, terutama dalam perkara khilaf yang masih menjadi ruang toleransi ilmiah.


📚 Ringkasan Faedah Tadzkirah


1️⃣ Mazhab adalah Pilihan Ijtihadiyah, Bukan Kebenaran Mutlak

Mazhab bukanlah agama tersendiri, melainkan hasil ijtihad dari para ulama besar terhadap teks wahyu. Ketika seseorang fanatik kepada satu mazhab hingga menolak pendapat lain yang juga berlandaskan dalil, ia sedang menutup pintu ijtihad dan membekukan dinamika keilmuan Islam.

📌 “Mazhab adalah jalan memahami hukum, bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran.”


POLIGAMI: ANTARA STIGMA DAN SYARIAT, SIAPA YANG SALAH PAHAM?

Oleh:
Asy-Syaikh Ahmad Banajah Hafidzahullah
Negeri Perlis, Malaysia



Mengapa poligami yang jelas halal dalam Islam kerap dianggap tabu?

Banyak wanita yang ingin menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat dicap sebagai "perusak rumah tangga" (pelakor), padahal syariat Islam memberikan ruang yang jelas untuk praktik ini. Sebaliknya, sebagian pria ragu atau bahkan takut menjalankan sunnah ini karena tekanan masyarakat.

MENYIKAPI PERATURAN PEMERINTAH

Apakah melanggar lampu merah di jalan sepi, tidak memakai helm di gang kecil, atau aturan-aturan lainnya selalu haram dan melanggar syariat? Apakah semua perintah pemerintah wajib dipatuhi dalam semua kondisi? 

Jangan terburu-buru menjawab!

Dalam audio ini, Anda akan menemukan penjelasan yang tegas namun penuh hikmah tentang:

  • Dua jenis peraturan yang dikeluarkan pemimpin Muslim: Mana yang benar-benar wajib, mana yang sekadar anjuran, dan bagaimana menyikapinya.
  • Konteks kepatuhan terhadap aturan lalu lintas dan regulasi modern: Apakah semua aturan adalah hukum syar’i atau hanya untuk kemaslahatan duniawi?
  • Panduan praktis dari syariat untuk memahami kapan aturan wajib ditaati dan kapan tidak.

🔥 Renungkan, pelajari, dan jangan sampai salah langkah! Audio ini memberikan wawasan penting untuk setiap Muslim yang ingin menjaga akidahnya namun tetap berperan sebagai warga negara yang baik. Simak dan temukan jawabannya sekarang! (Note: Audio berbahasa Inggris)

Dijawab oleh:
Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah
Perlis, Malaysia

PENJELASAN TENTANG DUA JENIS PERATURAN YANG DIKELUARKAN OLEH PEMIMPIN MUSLIM

Ringkasan dalam Bahasa Indonesia:

Wa-‘alaykum salām wa-rahmatullāhi wa-barakātuh. Marḥaban bika akhi al-karīm.

Saya telah merangkum poin tentang dua jenis peraturan yang dikeluarkan oleh pemimpin Muslim untuk memberikan kejelasan tambahan di akhir artikel. Mohon perhatikan dengan baik:

Jenis 1: Peraturan yang Selaras dengan Tujuan Syariat (Sharī'ah Purposes)

  • Peraturan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tujuan syariat, seperti menentukan kelayakan zakat atau melindungi hubungan sosial.
  • Peraturan ini dianggap sesuai dengan syariat, meskipun disampaikan dalam bentuk modern.
  • Contoh:
    • Mewajibkan pelaporan keuangan untuk menilai kelayakan zakat.
    • Melarang transaksi yang dapat merusak hubungan keluarga.

BEBERAPA POIN PENTING YANG PERLU DIPERHATIKAN KETIKA MEMBAHAS TENTANG SUATU KELOMPOK

Apakah Anda yakin sudah bersikap adil dalam menilai kelompok atau individu yang menyelisihi pendapat Anda? Dalam Islam, berbicara tentang kelompok atau individu bukan sekadar perkara benar atau salah. Ini adalah amanah besar yang membutuhkan ilmu, adil, dan hikmah. Namun, mengapa begitu banyak orang yang mudah menjatuhkan vonis takfir, tabdi', atau tafsiq tanpa dasar yang benar?

Dalam audio ini, Asy-Syaikh Ahmad Banajah hafidzahullah memberikan pelajaran berharga:

  • Apa pentingnya memperbaiki niat sebelum membahas suatu kelompok?
  • Bagaimana menerapkan keadilan bahkan kepada mereka yang menyelisihi kita?
  • Mengapa setiap tuduhan harus didasarkan pada prinsip yang jelas dalam syariat?
  • Perbedaan antara menghukumi kelompok secara umum dan individu di dalamnya.

🔥 Simak sekarang! Pelajari bagaimana Ahlussunah bersikap dengan ilmu dan hikmah. Jangan sampai salah langkah dalam menilai sesama Muslim!


Dijawab oleh :
Asy-Syaikh Ahmad Banajah Hafidzahullah
Masjid Darul Ilmi Surabaya (C) 2020

TRENDING